TIPOLOGI ISLAM KONSERVATIF DAN PERUBAHAN SOSIAL


TIPOLOGI ISLAM KONSERVATIF DAN PERUBAHAN SOSIAL
(Studi Kasus Kepemimpinan Tokoh Agama di Kampung Cihurip Ds Padaawas Kec Pasirwangi Kab Garut)

A.        PENDAHULUAN
Masyarakat kampung Cihurip dilihat dari asal usulnya  adalah masyarakat yang mayoritas homogen berasal dari daerah setempat yang bertahun tahun menetap di daerah tersebut, walaupu ada beberapa warga yang berasal dari luar desa Cihurip. Nenek moyang masyarakat desa Cihurip rata rata para pejuang yang ikut serta dalam melawan penjajahan pada masa Belanda sampai penjahajan Jepang Dilihat dari aspek agama, masyarakat Cihurip mayoritas menganut agama Islam dengan jumlah penduduk  yang  beragama  Islam   sebanyak  2.428 orang dari jumlah penduduk 2.614 orang.[1] Dari segi pendidikan dalam kategori pendidikan umum dan pendidikan khusus berjumlah 1.090 orang.[2]
Masyarakat   kampung   Cihurip   selalu mendapatkan wawasan keagamaan dari mulai ritual ritual keagamaan sampai adat istiadat serta materi agama dari seorang yang dipercaya memiliki kedalaman pengetahuan yang tinggi, dan tentunya menjadi tokoh agama yang difigurkan di desa tersebut. Pemahaman agama yang disampaikan oleh sesorang yang yang menjadi figuritas memberikan sugesti bahwa apa yang disampaikan itu sesuatu yang benar dan harus diikuti.
Seiring dengan kemajuan zaman maka pemahaman agama juga berubah sesuai dengan perkembangan keilmuan dan pengalaman masyarakat .Sebagian mereka berbenah diri untuk mengikuti pendidikan dari tahapan sekolah yang paling dini sampai sekolah yang tertinggi disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang berbeda beda. Sebanding lurus dengan prinsip logika dimana smakin tinggi keilmuan seseorang maka semakin bertambah pula pemahamannya dari segala aspek yang berkaitan dengan pemahamn keagamannya.
Namun dalam hal perkembangnnya masyarakat cihurip memiliki kunikan sendiri dalam melaksanakn ritual keagamaan. Mereka lebih condong kepada tokoh agama yang menjadi panutan dan figuritas yang sudah lama memberi pemahaman agama di tempat itu, tanpa corak pembaharuan manapun dibanding dengan para dai-dai muda yang lebih membawa misi perubahan dan berfikir modern. Stetmen yang menjadi andalanya yaitu bahwa ustad senior yang telah lama tinggal di ds cihurip sudah lebih lama memberi materi pengajian, lebih paham psikologi masyarakat disini, lebih mengerti situasi setempat, sementara para dai muda yang baru-baru belum tentu seperti para seniornya, walaupun pemikirannya lebih hebat.
Akibat dari sudut pandang inilah, berdampak cukup sulit terjadinya perubahan dalam pola pikir masyarakat cihurip itu sendiri. Padahal dalam pemahaman agama banyak dari masyarakat mengenyam pendidikan tinggi dan secara teori menyatakan bahwa perubahan sosial terjadi apabila perubahan prilaku dalam masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum. Faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan   sosial   tersebut   adalah   antara   lain   ideology,   pengetahuan,   perubahan pemahaman  dan  persepsi  masyarakat. Dan juga  karena  perubahan  penafsiran terhadap nilai-nilai yang selama ini diyakini.[3]
Dengan demikian, banyak masalah yang muncul dalam memahami perkembangan keagamaan pada masyarakat tersebut. Namun dalam penelitian ini penulis batasi pada pengaruh figur pemimpin keagamaan terhadap keberagamaan masyarakat di kampung Cihurip Kecamatan Pasirwang Kab Garut. Tujuan penelitian adalah untuk mencari pengaruh Islam konservatif yang mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat.
Selain  itu,  juga  untuk  menggali  pendapat-pendapat  muslim  Tradisional  masyarakat Cihurip dalam kaitannya dengan perubahan sosial yang mereka hadapi; serta mendapatkan kejelasan mengenai pengaruh tokoh pemimpin keagamaan terhadap keberagamaan masyarakat kampung Cihurip Kecamatan Pasirwang Kab Garut .
B.         KAJIAN TEORI
1.     Pola Keberagamaan
Tipologi keberagamaan yang dipaparkan oleh Komarudin Hidayat[4] adalah tipologi sikap keberagamaan ekslusifisme, inklusifisme, pluralisme, eklektifisme dan universalisme. Kelima tipologi tersebut masing-masing tidak terlepas atau terputus dari yang lain dan tidak pula bersifat permanen, tetapi lebih dekat dikatakan sebagai kecenderungan. Ekslusifisme melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar adalah agama yang dipeluknya. Agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi karena, baik agama maupun pemeluknya, dinilai terkutuk dalam pandangan Tuhan. Inklusifisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya, juga terdapat kebenaran meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Pluralisme berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing- masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris atau  dakwah dianggap “tidak relevan. Eklektivisme adalah sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat eklektif.
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya karena faktor historis-antropologis, agama kemudian tampil dalam format plural.
Selanjutnya, dalam perkembangan pemahaman ke-Islaman di Indonesia, telah muncul paham Islam yang bercorak fundamentalis, teologis - normatif, ekslusif, rasional, transformatif, inklusif-pluralis,[5] aktual, kontekstual, kultural, politis, tradisionalis, dinamis- modernis, liberal, dan esoterik. Munculnya paham ke-Islaman yang beragam ini selain menghendaki upaya mengidentifikasi batasan-batasan dan ciri-cirinya, juga perlu dilihat latar belakang timbulnya, hubungannya dengan cita-cita Islam sebagaimana cita-cita Al- Quran  dan pendekatan serta sikap yang harus digunakan dalam memahami fenomena keragaman pemahaman keragaman pemahaman ke-Islaman tersebut.[6]
Berbagai jawaban terhadap fenomena tersebut telah diupayakan oleh para ahli. Antara lain berbicara tentang Islam normatif-teologis berhadapan dengan Islam Historis telah dijelaskan panjang lebar oleh Amin Abdullah.[7] Juga tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan Islam fundamentalis telah dibahas panjang lebar oleh Dawam Rahardjo dan Ihza Mahendra.[8] Kemudian Harun Nasution mengupas panjang lebar tentang Islam Rasional.[9] Juga seperti dikatakan Jalaluddin Rahmat, bahwa terdapat dua kategori Islam; Islam Konseptual dan Islam Aktual. Islam konseptual terdapat dalam al-Quran  dan  al- Hadis dan buku-buku atau ceramah-ceramah tentang ke-Islaman. Sedangkan Islam aktual terdapat dalam aktualisasi perilaku pemeluknya.[10] Beberapa contoh tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa, berbagai paham ke-Islaman yang beragam telah muncul dan berkembang di Indonesia, dan bahkan secara akademik juga sudah terdokumentasikan sebagai bagian integral dari studi tentang fenomenologi agama Islam.

2.     Tipologi  Islam konservatif
Istilah konservatif biasanya dikontraskan dengan term Islam modern. Secara terminologis,  istilah  ini  mengandung  suatu  pengertian  tersembunyi  tentang  adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Oleh karena itulah, konservatif dalam pengertian yang paling elementer adalah sesuatu yang ditransmisikan atau diwariskan dari masa kini.[11]
Dalam konteks Islam, Sayyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa tradisi mengacu pada wahyu Allah dan ekspresinya dalam kehidupan historis. Nasr menyebutkan bahwa tradisi   mencakup   tiga   aspek;   pertama,   al-din   dalam   pengertian   seluas-luasnya   yang mencakup seluruh aspek agama; kedua, al-sunnah yang terbentuk dan berkembang berdasar model-model sakral sehingga membentuk tradisi; ketiga, silsilah, yakni mata rantai yang menghubungkan setiap periode, episode, atau tahap kehidupan. Singkatnya, tradisi mengandung makna sebagai kebenaran sakral, abadi, kebijaksanaan perenial dan penerapannya dan penerapannya dalam ruang dan waktu tertentu.[12]
Dalam konteks Islam Indonesia, Islam konservatif dicirikan dengan hal-hal sebagai berikut : pertama, sebagai Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli fiqh (hukum Islam), hadis, tafsir, tauhid (teologi Islam) dan tasawuf yang hidup antara abad ke 7 sampai dengan abad ke 13. unsur-unsur yang terdapat pada Islam konservatif meliputi   adanya   lembaga   pesantren,   peranan   dan   kepribadian   kyai   yang   sangat menentukan  dan  kharismatik. Mereka[13]  lebih  senang  mengikuti  pendapat  ulama-ulama besar di masa silam dari pada mengambil kesimpulan sendiri berdasarkan al-Quran dan al- Hadis. Kedua, pendukung utama tradsionalisme Islam adalah para kyai dan tokoh-tokoh lokal yang berbasis pendiikan pesantern.[14] Ketiga, sebagian mereka tinggal di pedesaan dengan pesantren sebagai  basis pendidikannya. Atau kalaupun mereka tinggal di kota, namun asal usul sosialnya adalah pedesaan. Keempat, ciri yang lebih ideologis adalah keterikatan mereka terhadap paham ahl al-sunnah wa al-jamaah yang dipahami secara khusus. Paham ini bukan saja untuk membedakan Sunni dan non-Sunni, tetapi juga antara golongan  konservatif  dan modernis.[15]
Selanjutnya dikatakan juga bahwa, kandungan intelektual Islam konservatif berkisar pada paham akidah Asyari, madzhab fiqh Syafii (dengan sedikit menerima tiga madzhab lainnya serta ajaran-ajaran akhlak dan tasawuf Al-Ghazali serta pengarang kitab sejenis. Hal ini berbeda dengan Islam modernis yang tidak mau terikat dengan sistem madzhab yang kaku dan kesufian Al-Ghazali.[16]
Ciri-ciri Islam konservatifis juga dapat diidentifikasi, bahwa bersifat ekslusif, karena tidak mau menerima pemikiran, pendapat dan saran yang berasal dari luar, terutama dalam bidang keagamaan. Hal itu karena akibat dari sikap mereka yang memandang bahwa yang benar  hanyalah  kelompoknya,  sedangkan  kelompok  yang  lain  tidak  benar.  Kemudian mereka juga tidak dapat membedakan antara ha-hal yang bersifat ajaran dengan non ajaran, sehingga  anggapan  mereka  bahwa  semua  hal  yang  ada  hubungannya  dengan  agama sebagai ajaran yang harus dipertahankan.[17]
Islam konservatif juga cenderung tidak mempermasalahkan tradisi yang terdapat dalam agama. Mereka juga cenderung lebih mengutamakan perasaan daripada akal pikiran. Mereka  juga  cenderung bersifat jabariah  dan  teosentri,  yaitu  sikap  pasrah,  tunduk  dan patuh pada Tuhan diringi dengan keyakinan bahwa segala sesuatu jika Tuhan mengizinkan akan terjadi. Keyakinan tersebut bukan tidak benar, tetapi harus diimbangi dengan sikap bahwa keputusan Tuhan juga senantiasa memerhatikan usaha yang dilakukan manusia.[18]
Ciri Islam konservatifis berikutnya adalah, bahwa mereka kurang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi modern, karena mereka sering melakukan pekerjaan dengan cara-cara mereka melakukannya sejak dahulu, tanpa disertai dengan upaya untuk memperbaiki cara kerja yang lebih efektif, dan efisien. Dan yang juga menjadi ciri Islam konservatifis adalah sikap  jumud  dan  statis. Ini  dibuktikan  dengan  keengganan mereka melakukan perubahan dan mempertahankan apa-apa yang dipandangnya sudah baik sejak dahulu, tanpa mempertanyakan secara kritis keberlakuan pemahaman mereka yang terus dipertahankan.[19]
Secara  umum,  ciri-ciri  Islam  konservatif  tersebut  di  atas  bernilai  positif  dalam konteks pendekatan diri kepada Tuhan dan terciptanya lingkungan yang tenteram. Namun secara khusus, sikap tersebut belum mampu membawa umat Islam untuk bersaing dan unggul dibandingkan dengan umat lainnya. Islam menghendaki keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, karena Islam tidak hanya mengurus masalah  spiritual  keagamaan  saja,  tetapi  juga  sosial  kemasyarakatan  menjadi  perhatian serius dalam Islam. Maka kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan sebuah keniscayaan yang harus dihadapi umat Islam di dunia saat ini.
3.     Perubahan Sosial
Pembahasan  Islam  konservatif tidak  terlepas  dari  proses  perubahan  sosial  yang tengah  berlangsung.  Perubahan  sosial  adalah  sebuah  variasi  atau  modifikasi  dalam beberapa aspek baik mengenai proses, pola dan bentuk sosial. Ada 3 (tiga) pendekatan terhadap perubahan sosial komulatif, yaitu : (1) Pendekatan yang memandang pola-pola yang bisa digenalisir dalam hal bagaimana semua aspek perubahan terjadi. (2) Pendekatan yang mencari penjelasan terhadap semua pola komulasi yang didasarkan pada teori evolusi. (3) Pendekatan yang berpendapat bahwa tidak ada evolusi tunggal bagi semua perubahan dalam sejarah manusia.[20]
Mac. Iver memberikan batasan tentang perubahan sosial sebagai perubahan- perubahan  dalam  hubungan  sosial  (sosial  relationship)  atau  sebagai  perubahan keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.[21] Sementara itu, Samuel Koening mengatakan bahwa, perubahan sosial adalah modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola kehidupan manusia. Modifikasi-mosifikasi tersebut terjadi karena sebab-sebab intern maupun ekstern.[22]
Sedangkan menurut Kingsley Davis yang dikutip oleh Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa perubahan  sosial  adalah perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Seperti timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis menyebabkan perububahan-perubahan dalam organisasi eonomi dan politik. Dan Gillin and Gillin sebagaimana dikutip juga oleh Soekanto menerangkan bahwa perubahan sosial adalah variasi cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan geografis, kebudayaan, komposisi pendidikan, ideology maupun karena adanya difusi atau penemuan- penemuan baru di dalam masyarakat.[23]
Perubahan sosial yang dimaksudkan adalah perubahan perilaku yang terjadi pada masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum. Faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan sosial tersebut adalah antara lain ideologi, pengetahuan,  perubahan  pemahaman  dan  persepsi  masyarakat.  Selain  itu,  juga  karena perubahan penafsiran terhadap nilai-nilai yang selama ini diyakini.[24]
Tujuan  syara  secara   substansial  adalah  untuk  terciptanya  kemaslahatan  umum dalam  kehidupan  manusia   tersebut.   Kemaslahatan  umum   itu  bersifat  dinamis  dan fleksibel yang seiring dengan lajunya perubahan sosial dan perkembangan zaman, yang merupakan ciri dalam dinamisasi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai dan  tujuan syara  dengan pertimbangan kemaslahatan   umum dan mencegah kerusakan menjadi solusi alternatif terhadap berbagai permasalahan kehidupan manusia dewasa ini yang makin kompleks, sehingga proses perubahan sosial berjalan sedemikian rupa. Kemaslahatan umum identik dengan perubahan sosial. Dengan demikian pemahaman yang terjadi saat ini berubah karena pemahaman terdahulu dianggap sudah dianggap tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi yang ada, sehingga dapat merubah cara pandang, teori dan tindakan yang dilakukan.
4.     Model Kepemimpinan
Model kepemimpinan yang tercermin dalam dunia pesantren adalah model kepemimpinan ulama. Pesantren sebagai lembaga penting bagi pemeliharaan dan benteng Islam konservatif, dihadapkan pada berbagai persoalan yang dapat menentukan sikap; reaktif, responsif, eskapis atau akomodatif. Ketidakmampuan menjawab persoalan yang muncul di dunia modern akan menjadikan pesantren tidak menarik lagi bagi masyarakat. Seperti dikemukakan Malik Fadjar, bahwa pesantren memiliki beberapa kelemahan ketika menghadapi perkembangan zaman. Pesantren menyimpan banyak persoalan yang menjadikannya   agak   tertatih-tatih   dan   bahkan   nyaris   kehilangan   kreatifitas   dalam merespons perkembangan zaman. Padahal sebagai suatu institusi pendidikan, keagamaan dan sosial, pesantren dituntut   melakukan kontekstualisasi tanpa harus mengubah watak aslinya.[25]
Kedudukan ulama dalam masyarakat diakui sebagai pemimpin, umumnya bersifat informal kewibawaan mereka kerapkali melebihi pemimpin-pemimpin formal, mereka umumnya disegani, dipatuhi dan juga dicintai. Ada beberapa aspek yang   membentuk kepemimpinan ulama dalam kehidupan masyarakatnya[26], yaitu:
Pertama, aspek intelektual, yang melatarbelakangi kepribadian ulama. Aspek ini meliputi kriteria keulamaan yang menguasai ilmu-ilmu agama, pengakuan masyarakat, corak pribadi yang tercermin dalam moralitasnya dan hubungan genealogis dengan tradisi pesantren yang masih kuat.
Kedua, aspek fungsional, yang berkaitan dengan peran nyata ulama  secara  kongkrit  dalam  kehidupan  masyarakatnya.  Fungsinya  terdiri  dari  untuk memimpin penyelenggaraan upacara ritual keagamaan, menjadi tempat bertanya bagi masyarakat dalam banyak hal, dan menjadi teladan dalam tingkah laku sosial. Sehingga peran ulama adalah, sebagai pemimpin masyarakat, pemimpin keilmuan, pemimpin kerohanian, dan pemimpin administrasi.
Ketiga, aspek status sosial, baik yang bersifat universal maupun status faktual yang dihayati masing-masing. Pada aspek ini ulama dibagi ke dalam dua kategori besar yaitu, ulama yang mempunyai status sosial vertikal sebagai tokoh organisasi dengan hirarkhi yang jelas baik dalam skala nasional maupun provinsial. Kategori kedua, yaitu ulama yang mempunyai status sosial horizontal, pada umumnya berada di pesantren-pesantren. Mereka tidak mempunyai jabatan formal dalam organisasi kemasyarakatan, tetapi mempunyai pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat.
Keempat,   aspek   kekerabatan,   yaitu   membentuk   jaringan   kepemimpinan   antar keluarga ulama dengan mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat harus menjadi calon kuat untuk mengganti kepemimpinannya, cara ini terutama dilakukan di kalangan pesantren. Mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endegenous (satu lingkungan) antar keluarga ulama, dan mengembangkan suatu jaringan transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara kyai dan keluarganya.
Para ulama saling terjalin dalam ikatan kekerabatan yang intensitas pertaliannya sangat kuat. Ini artinya bahwa, semakin terkenal kedudukan seorang ulama, maka semakin luas jaringan kekerabatannya dengan ulama lain. Pada gilirannya memberikan pemahaman bahwa pola kepemimpinan ulama tampak heterogen, artinya bahwa tidak ada kesamaan dalam pola kepemimpiannnya. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari latar belakang pendidikannya, jabatan yang diembannya, stratifikasi sosial yang ditempatinya dan mobilitas sosial yang mengantar kepemimpinannya.
C.        HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.     kampung Cihurip
Nama Cihurip juga berasal dari kata ci yang artinya air dan hurip yang atrinya hidup , yang berati daerah yang kaya dengan air dan yang membawa kehidupan bagi masyarakatnya. Dan selanjutnya terkenallah dengan kampung cihurip.[27]
Dari segi ekonomi, penduduk Cihurip memulai perekonomiannya dengan bercocok tanam sebagai petani, karena persawahan sebagai alternative utama yang dilakukan oleh mereka. Pada perkembangan berikutnya, wilayah kampung Cihurip  merupakan daerah yang menjadi focus  dalam melakukan kajian ini. Kondisi sosial masyarakat Cihurip  sebagai titik sentral perkembangan ekonomi  dan  pendidikan.  Dari  sisi  ekonomi,  wilayah  ini  sebagai  pusat  transportasi mobilitas masyarakat, karena adanya terminal induk Cihurip. Hal ini berdampak pada mudahnya masyarakat membangun perekonomian melalui perdagangan dalam berbagai rupa, mulai dari kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan, sampai kepada kebutuhan sekunder masyarakat. Ini membuktikan bahwa akses ekonomi sangat mudah berkembang di wilayah ini.[28]
Selanjutnya dari aspek pendidikan, bahwa kampung cihurip telah berdiri berbagai lembaga pendidikan, seperti Pondok Pesantren Istiqomah yang  menyelenggarkan pendidikan pengajaran model salaf   dan pendidikan formal. Pondok Pesantren Ittihad Quran yang menyelenggarakan program Tahfidz al-Quran (hafalan Quran) dan pendidikan formal.  SMK  Muhammadiyah  di  bawah  naungan  organisasi  Muhammadiyah  dan Sekolah Tinggi Ilmu Olah Raga. Di samping itu Sekolah Dasar dan Taman Pendidikan Kanak-kanak juga telah terselenggara sebagai cikal bakal pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Di kampung ini juga yang sangat dekat dengan terminal induk, juga  berdiri Taman Pendidikan Kanak-kanak, Sekolah Dasar (SD).
Dari  aspek  pekerjaan,  masyarakat  Cihurip   sudah  menjadi masyarakat  yang  heterogen,  karena  selain  masyarakat  asli  yang  mayoritas  petani,  juga sudah terjadi pertambahan penduduk sebagai masyarakat pendatang. Masyarakat asli juga sudah banyak yang menjadi pegawai negeri dan masyarakat pendatang. Sebagian mereka, petani, ada juga pegawai dan ada juga pedagang di berbagai tempat.
Selanjutnya,  pada  aspek  agama,  agama  Islam  menjadi  agama  mayoritas  yang dipeluk oleh masyarakat Cihurip . Kedekatan masyarakat dengan Pondok Pesantren beserta pola keberagamaan yang ditanamkan dalam kehidupan beragama di tengah-tengah masyarakat, telah mewarnai keseharian mereka. Kampung ini secara faktual memang sangat berdekatan dengan Pondok Pesantren,  dan tokoh agama yang diikuti masyarakat adalah alumni pesantren salaf di salah satu pondok pesantren di kampung itu. Kondisi semacam ini berjalan secara terus menerus  seiring  dengan  perkembangan  wilayah  dan  perkembangan  polarisasi keberagamaan masyarakat. Sehingga tokoh agama menjadi panutan mereka dalam melakukan  ritual  keagamaan  sampai  kepada  pola bermasyarakat.  Sedangkan  organisasi keagamaan yang banyak dianut masyarakat ini adalah organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai amaliyah mayoritas penduduk, disamping organisasi Muhammadiyah juga mewarnai keragaman amaliyah mereka.
2.     Corak Keberagamaan dan Perubahan Sosial Masyarakat Cihurip
Berdasarkan hasil penelitian dengan mengacu kepada teori yang ada tentang corak Islam konservatif, yakni pemikiran yang masih kental dengan pemikiran para ulama yang hidup pada abad ketujuh sampai abad ketiga belas, para kyai dan tokoh-tokoh lokal mendominasi dalam kehidupan Islam konservatif, penduduknya mayoritas berada di pedesaan atau sudah menjadi daerah perkotaan, tetapi unsur pedesaan masih sangat kental mewarnai kehidupan mereka. Keterikatan mereka kepada faham ahlu sunnah wa al-jamaah secara ideologis dipahami secara spesifik.
Dari  tipologi  tersebut  di  atas,  terindikasi  bahwa  masyarakat  kampung  Cihurip sampai  saat  ini  dapat  dikategorikan  merupakan islam konservatif.   Proses pengajaran dan pembelajaran Islam dilakukan oleh para kyai dan tokoh-tokoh masyarakat yang berlatarbelakang pendidikan pesantren. Kyai dan tokoh agama tersebut belajar agama ke  pesantren-pesantren   yang  notabene  berlabel  pesantren  salaf  dengan  materi- materi ke-Islaman yang diberikan ulama-ulama yang hidup antara abad ketujuh sampai abad ketiga belas.
Mereka mencoba untuk menerapkannya di tengah-tengah masyarakat dengan berbekal   pengetahuan   yang   diperoleh   dari   pesantren.   Masyarakat   Cihurip   pada umumnya adalah termasuk kelompok abangan sebagaimana klasifikasi keagamaan yang dikemuakan oleh Greets. Mereka tidak memiliki kekuatan beragama sehingga kedatangan tokoh  masyarakat  yang memiliki  pemahaman agama  lebih  dari mereka  sangat  menjadi panutan. Fenomena seperti ini terus berlangsung cukup lama, sehingga tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan banyak tentang agama ini mereka jadikan tokoh pemimpin yang selalu diikuti pendapatnya. Maka keberadaan kyai dan tokoh masyarakat yang demikian telah mendominasi pola fikir masyarakat dalam melaksanakan keberagamaan di dearahnya.
Selanjutnya kampung Cihurip adalah termasuk teritorial pedesaan. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman, ada pergeseran dan perkembangan seiring dengan berubahnya istilah desa menjadi kampung.  Sedang  kampung  itu  sendiri  sebagai  cirri  dari  kota.  Masyarakat  mulai memahami akan arti penting sebuah pendidikan, maka pemahaman keagamaan menjadi prioritas mereka untuk mensekolahkan anak-anaknya di lingkungan pesantren. Ini berkembang sampai pada berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan lembaga pendidikan umum.
Berkenaan dengan faham yang mayoritas diikuti oleh mereka adalah faham ahlu sunnah wa al-jamaah, dengan organisasi Nahdlatul Ulama  serta  amaliyahnya yang  dianut masyarakat mayoritas, karena memang faham ini yang ditanamkan kepada masyarakat sejak dini, sehingga ada kesan telah berurat berakar. Pada tingkat tertentu, menguatnya kelompok  tradisional  secara  teroganisir  juga  karena  upaya  mereka  untuk  melindungi paham dan ideologi tersebut dari ancaman kelompok modernis yang mengkampanyekan agar  umat  Islam  tidak  terbelenggu  dalam  tradisi.  Padahal  dalam  kenyataan  terjadinya proses  pemberian  pengetahuan  kepada anak-anak  mau tidak mau telah  mempengaruhi kondisi masyarakat Cihurip. Ilmu yang didapat dari lembaga pedidikan yang digelutinya secara terstruktur telah merubah cara berfikir mereka. Juga adanya para pendatang yang turut mewarnai pola fikir masyarakat tidak dapat dihindari.
Para  pendatang  dan kaum  terpelajar jelas memiliki pengetahuan  yang  heterogin tentang sistem pengajaran dan pembelajaran Islam. Mulai dari paham yang berbeda, pengetahuan yang berbeda sampai kepada cara berfikir yang berbeda pula. Kedatangan masyarakat urban dari berbagai daerah yang bersekolah di sekitar wilayah Cihurip juga sedikit demi sedikit telah merubah gaya hidup masyarakat. Model masyarakat perkotaan turut pula mewarnai perubahan perilaku masyarakat.
Namun,   kondisi   semacam   itu   tidak   merubah   pola   fikir   masyarakat   dalam mengembangkan keagamaan. Mereka tetap mempertahankan kebiasaan dan kondisi semula dengan tidak mudah menerima pembaharuan. Tokoh agama sangat memiliki peran penting dalam proses pembentukan kepribadian masyarakat. Sementara tokoh agama yang menjadi panutan mereka juga   tidak mudah menerima perubahan.  Pelaksanaan shalat  Jumaat petugas tetap  monoton, petugas tidak dijadwal secara tertulis, tetapi hanya ditunjuk orang-orang yang dianggap sejalan cara berfikirnya dengan tokoh agama tersebut dengan mengedepankan organisasi Nahdlatul Ulama sebagai payung besarnya. Maka proses transformasi ilmu pengetahuan sebagai sarana pengembangan wawasan berfikir masyarakat menjadi tidak begitu berarti. Pelaksanaan shalat   Jumat,  shalat    ied yang dilengkapi dengan khutbah belum sampai kepada penghayatan agama secara mendalam, karena kesan formalitas keagamaan masih sangat mewarnai kegiatan tersebut.
Kondisi semacam ini membawa dampak besar terhadap keberadaan para ilmuan lain yang juga memiliki kemampuan untuk berbuat dalam hal itu. Namun karena tidak mendapat respon positif, maka terjadilah stagnasi dalam perkembangan keilmuan. Mereka yang termasuk kaum pembaharu tidak bisa banyak berbuat, akhirnya sikap apatis dalam perkembangan masyarakat menjadi alternatif kebiasaan yang muncul di masyarakat.
Perubahan sosial masyarakat terjadi karena adanya proses perkembangan situasi dan kondisi dari waktu ke waktu. Tata cara pergaulan generasi muda juga mengalami pergeseran seiring dengan perubahan zaman. kampung Cihurip meski telah menjadi perkotaan, tatpi ciri khas pedesaannya belum bisa dihilangkan. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan pola pesantren sebagai basis pendidikannya, menjadi model kehidupan mereka. Perubahan yang terkait dengan pemahaman ke-Islaman tidak berkembang secara signifikan, karena proses transformasi sosial tidak dapat berjalan dengan lancar.
Proses pemahaman masyarakat yang dibekali oleh tokoh agama secara monoton, karena tidak banyak dilakukan perubahan penafsiran ayat-ayat qauliyah secara signifikan. Pemahaman ayat lebih kepada pemahaman ulama-ulama masa lampau yang sudah tidak relevan lagi dengan dunia kekinian. Bahkan  ada kesan  takut” bagi masyarakat ketika  ingin mencoba   melakukan   re-interpretasi   terhadap   ayat-ayat   qauliyah   maupun   kauniyah. Akibatnya, agama terkesan sempit, karena seolah-olah tidak menerima perubahan.
Ironisnya  keapatisan  tokoh  agama  dan  tokoh  masyarakat  lainnya  yang  tidak memiliki askes positif dalam perkembangan masyarakat telah berdampak pada tidak memiliki arti penting bagi masyarakat dalam bidang keagamaan. Namun akses mereka lebih kepada bidang sosial kemasyarakatan, maka tanda-tanda kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi terkesan lamban.
3.     Pengaruh Tokoh Pemimpin  Masyarakat kampung Cihurip
Seorang pemimpin adalah panutan bagi masyarakatnya, dan keadaan ini terjadi di kampung Cihurip , namun model kepemimpinan yang kental berjalan dari waktu ke waktu adalah model pesantren, di mana seorang tokoh agama yang dianggap sebagai kyai merupakan seseorang yang menjadi bahan pertimbangan masyarakat dalam bertindak.  Dalam hal ini masyarakat heterogin yang memiliki berbagai latar belakang pendidikan, ekonomi dan bahkan agama yang berbeda-beda. Sementara model kepemimpinan yang dijalankan adalah model kepemimpinan pesantren yang bersifat sentralistik.
Berbekal teori pada aspek intelektual sebagai latar belakang kepribadian seorang ulama, ciri ini tercermin pada pengetahuan keagamaannya yang masih kuat dengan bekal pengetahuan yang didapatnya dari pesantren. Kemudian aspek fungsionalnya sebagai pemimpin memiliki daya pikat yang kuat terhadap kepatuhan dan ketundukan masyarakat dalam menjalankan ritual keagamaan dan seyogyanya terkait juga dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Namun kenyataannya, pemimpin hanya berkutat masalah-masalah ritual keagamaan dengan memperbanyak acara-acara pengajian, sementara tuntunan terhadap akhlak masyarakat, terutama para generasi muda tidak begitu mendapatkan perhatian. Seorang pemimpin harus selalu dihormati dalam segala hal, padahal setiap manusia meski memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun kenyataan itu sulit disadari olehnya, dengan tidak menyadari kekurangan dan kesalahannya, dan tetap berpendirian bahwa dirinya yang paling benar, masyarakat harus bersikap menerima apa adanya.
Selanjutnya pada aspek status sosial, pemimpin yang menjadi panutan masyarakat Cihurip ini tidak pro-aktif dengan organisasi-organisasi selain yang dianutnya, bahkan beranggapan bahwa keyakinan yang dilakoninya itu yang paling benar, yang lain tidak benar. Anggapan ini memberikan makna sikap ekslusif dalam tipologi keberagamaan. Dan pada aspek kekerabatan, pola pesantren sangat kental dijalankan. Kepemimpinan yang diembannya tidak akan pernah bergeser selama dirinya masih merasa memiliki kemampuan yang cukup. Hal ini dibuktikan dengan pengelolaan kegiatan masjid di waktu bulan Ramadhan. Bertindak sebagai imam, pemberi ceramah agama dilakukan secara monoton  dari  awal  Ramadhan  hingga  akhir. Kondisi  semacam  ini  selalu berulang  dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan. Bahkan menjadi imam masjid tetap, artinya selama keberadaannya di masjid itu, maka posisi imam tidak dapat tergantikan, makmum menunggu samapai ia datang meski kadang-kadang agak cukup lama menunggu. Ketika posisinya sedang tidak berada di tempat, maka posisi imam baru dapat digantikan oleh jamaah yang  dianggap mampu untuk menjadi imam.
Aspek-aspek  tersebut  di  atas  bukan  tidak  penting  dalam  mengatur  masyarakat, tetapi juga harus memperhatikan aspek heterogenitas masyarakat. Akibatnya, pola kepemimpinan pesantren tidak dapat sepenuhnya dilakukan secara kaku, tetapi sebaliknya, harus bersikap luwes dan dinamis dalam  melaksanakannya. Kondisi  sosial  masyarakat harus menjadi pertimbangan utama dalam menjalankan roda kepemimpinan, apalagi seorang ulama yang diberikan amanat sebagai seorang kyai yang menjadi tuntunan masyarakat harus senantiasa memperlihatkan keagamaan dan moralitas yang baik. Seorang pemimpin dalam hal ini pemimpin keagamaan harus mampu bersikap akomodatif namun selektif terhadap perkembangan isu-isu global dan kekinian, baik yang menyangkut agama, pengetahuan dan teknologi. Maka seorang pemimpin agama menjadi siap dalam menghadapi kemajuan zaman dan segala tantangan yang di hadapinya.
Berdasarkan  pemaparan  di  atas,  maka  jelaslah  bahwa  figur  seorang  pemimpin dalam hal ini pemimpin   agama sangat mempengaruhi pola fikir masyarakatnya dalam memahami  agama. Pemimpin  agama yang mampu menghadapi tantangan zaman akan membawa masyarakatnya menjadi manusia yang mudah memahami situasi dan kondisi tanpa  meninggalkan  ideologi  yang  dianutnya,  sehingga  mampu  bersikap  luwes  dan dinamis dalam berfikir tentang agama tanpa berpaling dari ketentuan-ketentuan dasar moralitas dan mentalitas keagamaannya.
D.   SIMPULAN
Berdasarkan penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, corak Islam konservatif dan perubahan sosial yang mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat adalah sangat kental, yaitu ditandai dengan proses perubahan sosial yang lamban, karena masih sulit  menerima  pandangan  orang lain. Padahal secara  realistis  masyarakat  Cihurip   sudah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam bidang agama, ekonomi  maupun  pendidikan. Figur  seorang  pemimpin  keagamaan  terhadap keberagamaan masyarakat di kampung Cihurip Kecamatan Pasirwang Kab Garut mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam kaitannya menciptakan pemahaman komprehensif tentang Islam. Sementara figur pemimpin yang ada belum siap menerima perubahan karena masih mengedepankan pendapat Ulama masa lalu dan tidak berusaha untuk mengelaborasi pemahaman kekinian serta kurang menghargai pendapat orang lain.








DAFTAR PUSTAKA
Afif Nadjih Anies (ed.), Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, dalam Kepemimpinan Ulama oleh Muhammad Tolhah Hasan, Cet. ke- III, Jakarta:  Lantahora Press, 2005.
Andito  (ed.),  Atas  Nama  Agama:  Wacana  Agama  dalam  Dialog  “Bebas Konflik,  Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Atang  Abd.  Hakim,  Jaih  Mubarok,   Metodologi  Studi  Islam,  Cet.  II,  Jakarta:  Remaja Rosdakarya, 2000.
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1990.
Fazlur Rahman, Islam, (terj.) Senoaji Saleh, Cet. I Jakarta: Bina Aksara, 1987. Harun Nasution, Islam Rasional, Cet. II, Bandung: Mizan, 1995.
Henry Pratt, Fairchild, Dictionary of Sociology, 1977.
Jalaluddin Rakhmat, Islam, Aktual, Bandung: Mizan, 1991.
Kartini Kartono, Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Manu, 1990.
kampung     Cihurip     Kecamatan     Metro     Barat     Provinsi     Lampung,     Monografi kampung/Kecamatan, 2005.
Mac. Iver, Society: A Textbook of Sociology, New York: Farrar and Renehat, 1937. Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992.
M.  Amin  Abdullah,  Studi  Agama  Normativitas atau  Historitas,  Cet.  I  Yogyakarta:  Pusaka Pelajar, 1996.
M. Bambang Pranowo, Islam Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998.
Muhammad  Wahyuni  Nafis  (Ed.),  Rekonsrtuksi  dan  Renungan  Religius  Islam,  Cet.  I, Jakarta: Paramadina, 1996.
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997
Samuel Koening, Man and Society, The Basic Teaching of Sociology, New York: Barner & Noble Inc., 1957.
Sayyed Hossein Nasr, Traditional Islam in Modern World, London & New York: Kegan Paul International, 1990.
Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali, 1990, Cet. IV
Suharsimi Arikunto,  Prosedur Penelitian  Suatu Pendekatan Praktek,  Cet-11,  Jakarta:  Rineka Cipta, 1998.
Suwito,  NS,  Transformasi  Sosial,  Kajian  Epistimologi  Ali  Syariati  tentang  Pemikiran  Islam Modern, Yogyakarta: Unggun Religi, 2004.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994.



[1] kampung  Cihurip  Kecamatan  Pasirwangi  kab upaten Garut, Monografi kampung/Kecamatan, (Cihurip: 2017), h. 1.
[2] Ibid, hal. 3.
[3] Suwito, NS, Transformasi Sosial, Kajian Epistimologi Ali Syari’ati tentang Pemikiran Islam Modern, (Yogyakarta: Unggun Religi, 2004), Cet. I, 89
[4] Andito  (ed.),  Atas  Nama  Agama:  Wacana  Agama  dalam  Dialog  “Bebas”  Konflik,  (Bandung:  Pustaka
Hidayah, 1998), h. 119-120.
[5] Cita-cita  Islam  yang juga  merupakan  cita-cita  Al-Quran  adalah menginginkan terciptanya suatu kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang yang didasarkan pada nilai-nilai akhlak yang luhur, yang pada intinya bertumpu pada keimanan dan tanggung jawab Allah dan kasih saying, serta tanggung jawab kepada manusia. (Lihat Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h.  4; lihat juga Fazlur Rahman, Islam, (terj.) Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), cet. I, h. 49.
[6] Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 6.
[7] Lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas, (Yogyakarta: Pusaka Pelajar, 1996), cet. I, h. 3-18.
[8] Lihat Muhammad Wahyuni Nafis (Ed.), Rekonsrtuksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramadina, 196), cet. I, h. 85-93.
[9] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), cet. II, h. 56-75.
[10] Jalaluddin Rakhmat, Islam, Aktual, (Bandung: Mizan, 1991), h. 1.
[11] M. Bambang Pranowo, Islam Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, (Yogyakarta:  Adicita Karya Nusa, 1998), h. 4.
[12] Sayyed  Hossein  Nasr,  Traditional  Islam  in  Modern  World,  (London  &  New  York:  Kegan  Paul International, 1990), h. 13
[13] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994)  h. 6.
[14] Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1990), h. 50.
[15] Ibid., h. 48-52.
[16] Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), h. 18-19
[17] Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran..., h. 142.
[18] Ibid., h. 144.
[19] Ibid., h. 145.
[20] Henry Pratt, Fairchild, Dictionary of Sociology, 1977, h. 277.
[21] Mac. Iver, Society: A Textbook of Sociology, (New York: Farrar and Renehat, 1937),  h.  272.
[22] Samuel Koening, Man and Society, The Basic Teaching of Sociology, (New York: Barner & Noble Inc., 1957), Cet. II,  h. 279.
[23] Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1990), Cet. IV, h.  336-337.
[24] NS  Suwito,  Transformasi  Sosial,  Kajian  Epistimologi  Ali  Syari’ati  tentang  Pemikiran  Islam  Modern, (Yogyakarta: Unggun Religi, 2004), Cet. I,  h. 89.
[25] Nurcholis Madjid,  Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,  (Jakarta:  Paramadina, 1997), h. 7.
[26] Afif  Nadjih  Anies  (ed.),  Islam  Dalam  Perspektif  Sosio  Kultural,  dalam  Kepemimpinan  Ulama  oleh Muhammad Tolhah Hasan, (Jakarta:  Lantahora Press, 2005), Cet. ke- III,  h. 229-232.
[27] kampung Cihurip, Monografi kampung/Kecamatan, (Metro:  2005)
[28] kampung Cihurip, Monografi kampung/Kecamatan, (Metro: 2005) dalam  Lampiran Sejarah  Singkatkampung Cihurip

Komentar